Catatan Menarik Revolusi Putih Dan Gizi Buruk
Lensa Aktual. Revolusi Putih Lawan Gizi Buruk
# Fadjar Pratikto, Jurnalis
Seperti biasanya Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Prabowo Subianto bicara blak-blakan, apa adanya. Tidak ada kepura-puraan. Kali ini dia singgung soal gizi buruk yang masih melanda anak-anak Indonesia yang selama ini cenderung ditutup-tutupi.
Saat bersilaturahmi dengan para pengusaha kawasan industri se-Jawa Barat di Karawang pada 27 Maret 2018 kemarin, Prabowo mengacu pada data Bank Dunia, menyebut 35 persen anak Indonesia dalam kondisi kekurangan gizi. “Ini data Bank Dunia, bukan kata saya. Jadi jangan dibilang Prabowo pesimistis terhadap kondisi saat ini,” ujar mantan Danjen Kopassus ini.
Menurutnya, jika anak kekurangan gizi, perkembangan otaknya juga akan lemah. Demikian pula pertumbuhan tulang-tulangnya akan lemah. Pada akhirnya kualitas anak-anak Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan melemah. Akibat lebih jauhnya, kualitas bangsa kita akan tertinggal jauh dari negara lain, khususnya dari negara tetangga.
Apa yang disampaikan oleh Prabowo bukan isapan jempol belaka. Kasus gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Puncaknya pada Januari 2018 lalu terjadi bencana kesehatan di Kabupaten Asmat, Papua. Sebanyak 70 anak meninggal akibat campak dan gizi buruk.
Saat ini tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita di Indonesia adalah penderita stunting (berbadan pendek) atau sekitar 35,6 persen. Sebanyak 18,5 persen kategori sangat pendek dan 17,1 persen kategori pendek. Ini yang mengakibatkan WHO menetapkan Indonesia sebagai Negara dengan status gizi buruk. WHO tetapkan batas toleransi stunting maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah seluruh balita.
Sebelumnya laporan Global Nutrition pada 2016 menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-108 di dunia dengan kasus gizi buruk terbanyak. Posisi ini bahkan lebih tinggi diantara negara-negara di ASEAN, seperti Thailand (46) Malaysia (47), Vietnam (55), Brunei (55), Philipina (88), bahkan Kamboja (95).
Data surveilans gizi atau pemantauan status gizi (PSG) Indonesia tahun 2016 menyebutkan persentase balita kurus di Indonesia sebesar 11,1%. Itu mengindikasikan bahwa Indonesia termasuk negara dengan kategori masalah gizi akut (>5%).
Parahnya. kasus gizi buruk di Indonesia turut berkontribusi menciptakan ketimpangan ekonomi. Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah konferensi pers 23 Februari 2017 mengakui, anak yang kekurangan gizi memiliki peluang yang rendah dalam memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak di masa mendatang.
Padahal tahun 2020-2030, Indonesia akan memasuki masa bonus demografi, dimana penduduk produktif di rentang usia 15-64 tahun memiliki porsi yang paling besar dibandingkan usia lainnya. Masalah malnutrisi, bonus demografi bisa berubah jadi beban demografi.
Secara ekonomi, dampak malnutrisi diperkirakan setara dengan kehilangan 2-3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Itu menurut Bank Dunia loh. Jika nilai PDB Indonesia atas Harga Dasar Berlaku (ADHB) mencapai Rp 12.406,8 triliun maka kasus gizi buruk berpotensi menggerus hampir Rp 372 triliun.
Itu sih merupakan estimasi potensi kerugian ekonomi akibat masalah gizi buruk pada balita di Indonesia, yang meliputi biaya berobat akibat penyakit degeneratif, hingga hilangnya produktivitas karena tingkat intelegensi yang menurun.
Prabowo membayangkan bagaimana generasi mendatang bisa bersaing dengan bangsa lain untuk meningkatkan perekonomian Indonesia, jika saat balitanya sudah terkena gizi buruk yang menyebabkan kesehatannya terganggu dan kecerdasannya menurun.
Bagaimana kita mau bersaing masuk lima besar negara dengan PDB terbesar pada 2045 jika masih ada anak yang kekurangan gizi dan hidup dalam kemiskinan. Percuma saja kita bersaing, mau berkompetisi dengan negara lain di pasar bebas tenaga kerja, kalau keadaan seperti ini masih ada.
Untuk itu, pemberantasan gizi buruk sangat mendesak dilakukan. Kementerian Kesehatan pada 2017 lalu sudah mencoba memperbaiki status gizi seperti cakupan ASI eksklusif diperluas, pencegahan anemia ibu hamil, penurunan kasus bayi lahir pendek, dan pemantauan pertumbuhan anak balita. Beberapa target diimplementasi dalam program pemberian makanan tambahan (PMT) dan layanan posyandu.
Itu ternyata belum cukup. Kemko PMK sebagai ‘leading sector’ seyogyanya segera mengakselerasi kementerian dan lembaga terkait untuk mengkonkretkan target penghapusan permasalahan gizi buruk. Juga harus ada upaya keras untuk meningkatkan gizi anak dalam sebuah gerakan nasional.
Prabowo bersama Partai Gerindra sudah delapan tahun ini menawarkan sebuah gerakan Revolusi Putih untuk mengatasi masalah gizi buruk pada anak-anak. Gerakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan konsumsi susu anak-anak di Indonesia sebagai solusi untuk meningkatkan status gizi dan kesehatan masyarakat. Revolusi Putih pun akan menjadikan susu sebagai konsumsi harian masyarakat Indonesia.
Revolusi Putih selaras dengan rekomendasi FAO pada 2013 yang menyebutkan susu dan produk susu sebagai bagian dari asupan gizi seimbang. Saat ini konsumsi susu di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Pada tahun 2016, total konsumsi susu di Indonesia adalah sebesar 12,10 kg per kapita, sedangkan negara-negara ASEAN lainnya rata-rata lebih dari 25 kg per kapita.
Tidak sekedar bagi-bagi susu. Revolusi Putih diharapkan akan mendongkrak peningkatan produksi susu nasional dan produk olahannya, dengan kembangkan peternakan sapi perah dan pedaging yang berkualitas. Pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan petani/ peternak khususnya dan masyarakat umumnya.
Sudah saatnya Revolusi Putih direalisasikan dalam gerakan nasional agar anak-anak Indonesia dapat menjadi generasi penerus yang sehat, cerdas dan berprestasi dalam mengemban amanat kebangsaan di masa mendatang. Dengan cara itulah bonus demografi bisa kita manfaatkan untuk meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat kita, sekaligus membangun karakter bangsa yang kuat dan berdaya saing tinggi.****
# Fadjar Pratikto, Jurnalis
Seperti biasanya Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Prabowo Subianto bicara blak-blakan, apa adanya. Tidak ada kepura-puraan. Kali ini dia singgung soal gizi buruk yang masih melanda anak-anak Indonesia yang selama ini cenderung ditutup-tutupi.
Saat bersilaturahmi dengan para pengusaha kawasan industri se-Jawa Barat di Karawang pada 27 Maret 2018 kemarin, Prabowo mengacu pada data Bank Dunia, menyebut 35 persen anak Indonesia dalam kondisi kekurangan gizi. “Ini data Bank Dunia, bukan kata saya. Jadi jangan dibilang Prabowo pesimistis terhadap kondisi saat ini,” ujar mantan Danjen Kopassus ini.
Menurutnya, jika anak kekurangan gizi, perkembangan otaknya juga akan lemah. Demikian pula pertumbuhan tulang-tulangnya akan lemah. Pada akhirnya kualitas anak-anak Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan melemah. Akibat lebih jauhnya, kualitas bangsa kita akan tertinggal jauh dari negara lain, khususnya dari negara tetangga.
Apa yang disampaikan oleh Prabowo bukan isapan jempol belaka. Kasus gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Puncaknya pada Januari 2018 lalu terjadi bencana kesehatan di Kabupaten Asmat, Papua. Sebanyak 70 anak meninggal akibat campak dan gizi buruk.
Saat ini tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita di Indonesia adalah penderita stunting (berbadan pendek) atau sekitar 35,6 persen. Sebanyak 18,5 persen kategori sangat pendek dan 17,1 persen kategori pendek. Ini yang mengakibatkan WHO menetapkan Indonesia sebagai Negara dengan status gizi buruk. WHO tetapkan batas toleransi stunting maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah seluruh balita.
Sebelumnya laporan Global Nutrition pada 2016 menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-108 di dunia dengan kasus gizi buruk terbanyak. Posisi ini bahkan lebih tinggi diantara negara-negara di ASEAN, seperti Thailand (46) Malaysia (47), Vietnam (55), Brunei (55), Philipina (88), bahkan Kamboja (95).
Data surveilans gizi atau pemantauan status gizi (PSG) Indonesia tahun 2016 menyebutkan persentase balita kurus di Indonesia sebesar 11,1%. Itu mengindikasikan bahwa Indonesia termasuk negara dengan kategori masalah gizi akut (>5%).
Parahnya. kasus gizi buruk di Indonesia turut berkontribusi menciptakan ketimpangan ekonomi. Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah konferensi pers 23 Februari 2017 mengakui, anak yang kekurangan gizi memiliki peluang yang rendah dalam memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak di masa mendatang.
Padahal tahun 2020-2030, Indonesia akan memasuki masa bonus demografi, dimana penduduk produktif di rentang usia 15-64 tahun memiliki porsi yang paling besar dibandingkan usia lainnya. Masalah malnutrisi, bonus demografi bisa berubah jadi beban demografi.
Secara ekonomi, dampak malnutrisi diperkirakan setara dengan kehilangan 2-3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Itu menurut Bank Dunia loh. Jika nilai PDB Indonesia atas Harga Dasar Berlaku (ADHB) mencapai Rp 12.406,8 triliun maka kasus gizi buruk berpotensi menggerus hampir Rp 372 triliun.
Itu sih merupakan estimasi potensi kerugian ekonomi akibat masalah gizi buruk pada balita di Indonesia, yang meliputi biaya berobat akibat penyakit degeneratif, hingga hilangnya produktivitas karena tingkat intelegensi yang menurun.
Prabowo membayangkan bagaimana generasi mendatang bisa bersaing dengan bangsa lain untuk meningkatkan perekonomian Indonesia, jika saat balitanya sudah terkena gizi buruk yang menyebabkan kesehatannya terganggu dan kecerdasannya menurun.
Bagaimana kita mau bersaing masuk lima besar negara dengan PDB terbesar pada 2045 jika masih ada anak yang kekurangan gizi dan hidup dalam kemiskinan. Percuma saja kita bersaing, mau berkompetisi dengan negara lain di pasar bebas tenaga kerja, kalau keadaan seperti ini masih ada.
Untuk itu, pemberantasan gizi buruk sangat mendesak dilakukan. Kementerian Kesehatan pada 2017 lalu sudah mencoba memperbaiki status gizi seperti cakupan ASI eksklusif diperluas, pencegahan anemia ibu hamil, penurunan kasus bayi lahir pendek, dan pemantauan pertumbuhan anak balita. Beberapa target diimplementasi dalam program pemberian makanan tambahan (PMT) dan layanan posyandu.
Itu ternyata belum cukup. Kemko PMK sebagai ‘leading sector’ seyogyanya segera mengakselerasi kementerian dan lembaga terkait untuk mengkonkretkan target penghapusan permasalahan gizi buruk. Juga harus ada upaya keras untuk meningkatkan gizi anak dalam sebuah gerakan nasional.
Prabowo bersama Partai Gerindra sudah delapan tahun ini menawarkan sebuah gerakan Revolusi Putih untuk mengatasi masalah gizi buruk pada anak-anak. Gerakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan konsumsi susu anak-anak di Indonesia sebagai solusi untuk meningkatkan status gizi dan kesehatan masyarakat. Revolusi Putih pun akan menjadikan susu sebagai konsumsi harian masyarakat Indonesia.
Revolusi Putih selaras dengan rekomendasi FAO pada 2013 yang menyebutkan susu dan produk susu sebagai bagian dari asupan gizi seimbang. Saat ini konsumsi susu di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Pada tahun 2016, total konsumsi susu di Indonesia adalah sebesar 12,10 kg per kapita, sedangkan negara-negara ASEAN lainnya rata-rata lebih dari 25 kg per kapita.
Tidak sekedar bagi-bagi susu. Revolusi Putih diharapkan akan mendongkrak peningkatan produksi susu nasional dan produk olahannya, dengan kembangkan peternakan sapi perah dan pedaging yang berkualitas. Pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan petani/ peternak khususnya dan masyarakat umumnya.
Sudah saatnya Revolusi Putih direalisasikan dalam gerakan nasional agar anak-anak Indonesia dapat menjadi generasi penerus yang sehat, cerdas dan berprestasi dalam mengemban amanat kebangsaan di masa mendatang. Dengan cara itulah bonus demografi bisa kita manfaatkan untuk meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat kita, sekaligus membangun karakter bangsa yang kuat dan berdaya saing tinggi.****
Comments
Post a Comment